Kali ini saya mengambil foto di area persawahan yang dekat sekali dengan rumah orang tua saya, sebelumnya saya minta maaf kalau gambarnya tidak jelas alias nge-Blur. Maklum saja, saya disini hanya pakai kamera dari HP BenQ Siemens E61, yang masih tergolong kamera VGA. Di sawah ini sebenarnya tujuan awal saya adalah mengantarkan sarapan buat para pekerja yang sedang memanen padi milik Ayah saya, akan tetapi daripada menunggu terlalu lama akhirnya sayapun hanya sekedar duduk – duduk di gubuk buat mengamati segala aktivitas orang – orang yang sedang memanen padi. Banyak gambar yang sudah saya ambil, dari setiap pergantian proses panen hanya saja hilang entah kemana.
Satu hal yang paling saya suka adalah ketika para petani itu sarapan bersama, sangat sederhana dan apa adanya. Seperti biasa dengan pecel khas Madiun lengkap dengan telur dan tempe, mereka mulai makan dengan daun. Sungguh view yang sangat alami, jauh dari sterofom atau apalah yang lagi menggila keberadaanya. Saya terkadang bercanda dengan mereka disela – sela sarapan, ada salah satu dari mereka yang berkomentar sepeti ini,” Nduk –nduk, yo ngono pisan – pisan cah kuliahan mudun nang sawah. Gak usah wedi ireng yo!”. Dan benar juga , dari situ saya mendapatkan pelajaran yang sangat dalam atas arti hidup. Sementara yang disana masih banyak yang bingung buat buang – buang uang, disini hanya Rp 15.000,- per hari dan tidak setiap hari didapat alias jika musim panen saja mereka bisa dapat uang itu. Bisa dibayangkan mau hidup seperti apa dengan uang segitu.
Lanjut, berhubung proses dari pemotongan padi dan pembersihan atau “nge-Herek”nya tidak ada fotonya saya langsung saja tampilkan foto disaat proses pemindahan gabah kemobil. Ya, ini saya ambil ketika petani yang akrab saya panggil Mbah Loso ini lewat dan ada di samping gubuk tempat saya duduk. Saya jadi berpikir bahwa Beruntung sekali saya ini, dianugrahi kemauan dan kemampuan berpikir lebih maju dari orang – orang disekitar lingkungan rumah saya. Bukan bermaksud membentuk anggapan jadi petani itu jelek atau hidup sengsara, namun alangkah lebih baik jika salah satu dari mereka bisa jadi “ Orang ”.
Nah, kalau yang ini adalah proses terakhir yang dilakukan di sawah. Proses pengangkutan gabah kerumah saya. Para petani itu sudah selesai mengangkut gabah – gabahnya, dan bisa anda lihat sendiri kurang lebih hanya segitu hasil yang diperoleh sawah ayah saya dalam setiap kali panen, di musim panen seperti ini harga gabah kering sekitar + Rp 200.000,- per kuintal, sedangkan 1 kuintal gabah rata - rata terdiri dari 3 sak / karung. Kalupun total panen kali ini ada 32 karung berarti Ayah saya kali ini hanya mendapatkan + Rp 2.170.000,- , Bukan angka yang begitu fantastis bukan?
Untuk ukuran hidup di desa mungkin lebih dari cukup, akan tetapi tidak begitu kalau angka itu kemudian dibagi 4 ( yang merupakan jumlah bulan untuk sekali panen ), Kasarannya orang – orang di desa saya yang mempunyai sawah hanya bisa menghasilkan Rp 500.000,- per bulan. Hmm… Semoga bisa jadi pembelajaran bagi saya pribadi dan anda tentunya.
( phie )
Satu hal yang paling saya suka adalah ketika para petani itu sarapan bersama, sangat sederhana dan apa adanya. Seperti biasa dengan pecel khas Madiun lengkap dengan telur dan tempe, mereka mulai makan dengan daun. Sungguh view yang sangat alami, jauh dari sterofom atau apalah yang lagi menggila keberadaanya. Saya terkadang bercanda dengan mereka disela – sela sarapan, ada salah satu dari mereka yang berkomentar sepeti ini,” Nduk –nduk, yo ngono pisan – pisan cah kuliahan mudun nang sawah. Gak usah wedi ireng yo!”. Dan benar juga , dari situ saya mendapatkan pelajaran yang sangat dalam atas arti hidup. Sementara yang disana masih banyak yang bingung buat buang – buang uang, disini hanya Rp 15.000,- per hari dan tidak setiap hari didapat alias jika musim panen saja mereka bisa dapat uang itu. Bisa dibayangkan mau hidup seperti apa dengan uang segitu.
Lanjut, berhubung proses dari pemotongan padi dan pembersihan atau “nge-Herek”nya tidak ada fotonya saya langsung saja tampilkan foto disaat proses pemindahan gabah kemobil. Ya, ini saya ambil ketika petani yang akrab saya panggil Mbah Loso ini lewat dan ada di samping gubuk tempat saya duduk. Saya jadi berpikir bahwa Beruntung sekali saya ini, dianugrahi kemauan dan kemampuan berpikir lebih maju dari orang – orang disekitar lingkungan rumah saya. Bukan bermaksud membentuk anggapan jadi petani itu jelek atau hidup sengsara, namun alangkah lebih baik jika salah satu dari mereka bisa jadi “ Orang ”.
Nah, kalau yang ini adalah proses terakhir yang dilakukan di sawah. Proses pengangkutan gabah kerumah saya. Para petani itu sudah selesai mengangkut gabah – gabahnya, dan bisa anda lihat sendiri kurang lebih hanya segitu hasil yang diperoleh sawah ayah saya dalam setiap kali panen, di musim panen seperti ini harga gabah kering sekitar + Rp 200.000,- per kuintal, sedangkan 1 kuintal gabah rata - rata terdiri dari 3 sak / karung. Kalupun total panen kali ini ada 32 karung berarti Ayah saya kali ini hanya mendapatkan + Rp 2.170.000,- , Bukan angka yang begitu fantastis bukan?
Untuk ukuran hidup di desa mungkin lebih dari cukup, akan tetapi tidak begitu kalau angka itu kemudian dibagi 4 ( yang merupakan jumlah bulan untuk sekali panen ), Kasarannya orang – orang di desa saya yang mempunyai sawah hanya bisa menghasilkan Rp 500.000,- per bulan. Hmm… Semoga bisa jadi pembelajaran bagi saya pribadi dan anda tentunya.
( phie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar